Senin, 20 April 2009

Pencemaran Migas di Laut

Diberitakan sebuah tanker yang membawa sekitar 30.000 ton minyak senilai 9 juta dolar AS terbakar, setelah terlibat insiden tabrakan dengan kapal kontainer di lepas pantai Dubai, Selasa (10/2). Kebakaran hebat di kedua kapal menghasilkan kepulan asap hitam yang menutupi angkasa.

Kapal tanker dengan nama Kashmir yang dibuat pada tahun 1988 ini, dalam perjalanan dari Iran menuju pelabuhan Jebel Ali di Uni Emirat Arab. Sedangkan kapal kontainer bernama Sima Buoy baru saja meninggalkan pelabuhan Jebel Ali saat insiden terjadi.

Hal di atas adalah kejadian yang kesekian kali yang berakibat pada pencemaran laut (lepas).

Tumpahan Minyak


Minyak mentah (crude oil) atau minyak bumi (petroleum, berasal dari bahasa Yunani yaitu petros berarti batuan dan oleum berarti minyak) terbentuk dari sisa tanaman atau hewan jutaan tahun lampau sebagai akibat dari pemanasan internal Bumi. Minyak Bumi tersebut merupakan senyawa kimia yang amat kompleks sebagai gabungan dari senyawa hidrokarbon ( dari unsur karbon dan hidrogen ) dan non hidrokarbon ( dari unsur oksigen, sulfur, nitrogen dan trace metal).

Jutaan tahun lampau sebelum manusia memiliki kemampuan memanfaatkan minyak bumi, pencemaran minyak di lautan sebetulnya telah terjadi. Material mengandung minyak yang memasuki lautan berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan secara alami dan melalui presipitasi hidrokarbon dari atmosfer. Hanya saja sebagian besar pencemar akan di biodegradasi (diuraikan) oleh organisme secara alami (meskipun dalam jangka waktu lama) sehingga dampak buruk terhadap lingkungan menjadi sangat kecil.


Kini, tumpahan minyak diakibatkan oleh kegiatan penambangan lepas pantai, kebocoran dan kecelakaan kapal tanker, kebocoran saluran pipa minyak, dan lainnya, telah menimbulkan kerusakan yang hebat pada tingkat lokal baik bagi tumbuhan, hewan ataupun pada manusia (secara tidak langsung).

Dampak Buruk

Akibat buruk yang segera terlihat adalah rusaknya estetika pantai akibat penampakan dan bau dari material minyak. Residu yang berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar yang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan terdampar di pantai. Akan sulit menemukan bagian pantai yang tidak terkontaminasi dikarenakan penyebarannya yang cepat. Seperti kasus di perairan pulau Pramuka, kepulauan Seribu.

Tumpahan minyak akan mengakibatkan kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu memengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Namun kematian dimungkinkan akibat terganggunya proses makan, pertumbuhan dan perilaku tidak normal. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.

Pertumbuhan bakteri laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa toksik dalam komponen minyak bumi, juga senyawa toksik yang terbentuk dari proses biodegradasi. Bahkan dalam beberapa kasus, senyawa toksik dari proses biodegradasi dapat lebih berbahaya. Dimungkinkan pula terjadi pertambahan mikroorganisme/organisme yang mampu memanfaatkan hidrokarbon minyak bumi, dikarenakan terjadi penambahan nutrien pada lokasi yang tercemar, untuk metabolismenya ataupun yang memanfaatkan produk metabolisme tersebut, tetapi secara umum terdapat pengurangan jenis mikroorganisme dan organisme.

Pengaruh lainnya adalah penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan toksik pada slick (lapisan minyak di permukaan air). Pengaruh pada plankton tidak signifikan dikarenakan kemampuannya mereproduksi secara cepat, sehingga penurunan populasinya yang sempat terjadi bisa dikembalikan. Berbeda dengan plankton, udang-udangan, ikan dan moluska yang terdapat di antara plankton akan sangat terpengaruh dikarenakan proses pemulihannya memakan waktu bertahun-tahun.

Dampak yang sangat terasa dialami organisme yang tidak bisa bergerak (immobile) seperti organisme bentik karena tidak bisa lolos dari wilayah tercemar. Dalam beberapa kasus pemulihan pada organisme bentik memakan waktu lebih dari 10 tahun. Apalagi bila kejadian tumpahan minyak di pantai dengan dasar lembut (soft bottom) dimana minyak mampu persisten dalam jangka waktu lama dibandingkan pantai berbatu (berdasar keras).

Yang paling memprihatinkan adalah terjadinya kematian pada burung-burung laut. Hal ini karena slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam guna mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi sehingga burung akan kedinginan untuk selanjutnya mati. Kematian burung dalam jumlah besar terjadi setiap ada pencemaran minyak di laut. Kehilangan jumlah populasi burung tidak tergantikan dalam waktu pendek karena laju reproduksinya yang lambat dan umurnya relatif panjang. Apalagi upaya menyelamatkan burung dengan cara membersihkannya seringkali tidak berhasil.

Pada mamalia laut yang mudah bergerak (mobile) pengaruh tumpahan minyak biasanya kecil dikarenakan kemampuannya menghindar dari cakupan daerah tumpahan.

Pengaruh tidak langsung yang dialami manusia adalah dengan melihat kerusakan yang dialami oleh ikan. Jumlah ikan yang mati memang tidak terlalu banyak dikarenakan kemampuannya menghindar. Namun, ancaman terbesar dialami oleh bentic fish yang mengalami akumulasi minyak dalam tubuhnya, dan area bertelur (spawning area) karena fase larva sangat sensitif terhadap toksisitas minyak. Ternjadi akumulasi senyawa aromatik (karsinogen) pada jaringan ikan. Dan manusia baru merasakan keberadaan hidrokarbon minyak bumi di jaringan ikan / hewan yang dimakannya pada konsentrasi 5 – 20 ppm.

Penelitian pada insiden Exxon Valdez pada 24 Maret 1989 di Prince William Sound, Alaska dimana lebih dari 11 juta gallon minyak tumpah menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa aromatik pada kerang Mytilus Trossulus meningkat dua kali lipat dalam waktu 6 bulan setelah terjadi tumpahan.

Pemantauan

Sebelum upaya penanggulangan tumpahan minyak dilakukan, maka tindakan pertama yang diambil adalah melakukan pemantauan tumpahan yang terjadi guna mengetahui secara pasti jumlah minyak yang lepas ke lautan serta kondisi tumpahan, misalnya terbentuknya emulsi.

Ada dua jenis upaya yang dilakukan yaitu dengan pengamatan secara visual dan penginderaan jauh (remote sensing). Karena ada keterbatasan pada masing-masing teknik tersebut, seringkali digunakan kombinasi beberapa teknik.

Pengamatan visual melalui pesawat merupakan teknik yang reliable, namun sering terjadi pada peristiwa tumpahan minyak yang besar dengan melibatkan banyak pengamat, laporan yang diberikan sangat bervariasi.

Ada beberapa faktor yang membuat pemantauan dengan teknik ini menjadi kurang dapat dipercaya seperti pada tumpahan jenis minyak yang sangat ringan akan segera mengalami penyebaran (spreading ) dan menjadi lapisan sangat tipis. Pada kondisi pencahayaan ideal akan terlihat warna terang atau pelangi. Namun, seringkali penampakan lapisan ini sangat bervariasi tergantung jumlah cahaya matahari, sudut pengamatan dan permukaan laut. Karenanya, pengamatan ketebalan minyak berdasarkan warna slick kurang bisa dipercaya. Faktor lainnya adalah kondisi lingkungan setempat dan prediksi coverage area.

Cara kedua dengan menggunakan metode penginderaan jarak jauh yang dilakukan dengan berbagai macam teknik seperti Side-looking Airborne Radar (SLAR) yang telah digunakan secara luas. SLAR memiliki keuntungan yaitu bisa dioperasikan segala waktu dan segala cuaca, menjangkau wilayah yang lebih luas dengan hasil pengindraan lebih detail dengan kekintrasan tinggi dan bisa ditransmisikan. Sayangnya teknik ini hanya bisa mendeteksi laisan minyak yang tebal dan tidak bisa mendeteksi minyak yang berada dibawah air dan kondisi laut sangat tenang.

Selain SLAR digunakan pula teknik Micowave Radiometer, Infrared-ultraviolet Line Scanner dan LANDSAT Satellite System. Berbagai teknik ini digunakan besama guna menghasilkan informasi yang akurat dan cepat.

Penanggulangan

Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.

In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api.

Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.

Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.

Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, aur dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.

Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.

Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan.

Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)

Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan) (lebih jauh lihat : Dispersan Kimiawi, Salah Satu Solusi Pencemaran Minyak di Laut ).

Epilog

Mengingat bahwa tumpahan minyak mentah membawa akibat yang amat luas pada lingkungan laut maka penanganannya tidak bisa diserahkan hanya pada satu institusi pemerintah saja. Perlu melibatkan kerja sama berbagai institusi seperti Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Pertambangan dan Energi, Kepolisian, Pemerintah Daerah, Kementrian Riset dan Teknologi, Departeman Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, termasuk pula masyarakat dan kalangan LSM. Kondisi ini perlu dipikirkan sejak dini.

Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa penanggulangan tumpahan minyak bukan hanya meliputi cara pemantauan yang menuntut teknologi yang canggih, cara menghilangkan minyak yang menuntut penggunaan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan, namun meliputi pula penelitian dampak tumpahan minyak tersebut dan upaya rehabilitasi lingkungan yang tercemar baik hewan, tumbuhan, maupun estetika laut dan pantai.

Bagaimanapun juga luas wilayah laut Indonesia sebesar 2/3 dari seluruh wilayah nusantara, dan pantai sepanjang lebih dari 80.000 km begitu berharga dan harus dijaga. Terlebih bila mengingat bahwa sekarang ini sebagian besar wilayah pantai tersebut telah mengalami kerusakan parah akibat ketidaktahuan, keteledoran, dan penggunaan yang menyalami rambu-rambu keamanan lingkungan.

Tampaknya perlu diberikan aturan yang tegas di dalam hal eksplorasi dan eksploitasi minyak serta penggunaan bahan bakar minyak pada sarana transportasi laut. Dan hukuman yang setimpal bila terjadi penyalahgunaan aturan yang ada.

Sumber : http://wyuliandari.wordpress.com/2009/02/16/pencemaran-minyak-di-laut/


Free Signature Generator

Free Signature Generator

Baca selengkapnya disini......

Lumpur lapindo

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi) , adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006, bersamaan dengan gempa berkekuatan 5,9 SR yang melanda Yogyakarta. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

Lokasi :


Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran, walaupun pendapat tersebut ketika dipraktikan tidak dapat menghentikan luapan lumpur tersebut.



Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia

Perkiraan penyebab kejadian

Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu, karena banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa luapan lumpur bukan keluar dari lubang pemboran yang dilakukan PT LAPINDO.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).


Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusahaditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo


Free Signature Generator

Free Signature Generator

Baca selengkapnya disini......